Apa ukuran kesuksesan? Apakah dari banyaknya harta benda yang dimiliki? Atau dari tingginya jabatan yang diduduki? Atau dari tingkat pendidikan yang sudah dijalani? Apakah bisa dilihat hanya dengan gelar akademik yang berjejer? Atau bisa dilihat hanya dari koleksi barang-barang mewah yang dikumpulkannya? Apakah orang yang tidak mempunyai harta benda yang banyak, berarti dia tidak sukses?
Tentu sangat relatif ukuran kesuksesan bagi seseorang. Masing-masing pasti punya sudut pandang dan pemikiran yang berbeda. Hal itu sangat wajar. Namun sebagai manusia yang berakal dan mempunyai hati, tentu kita harus bisa lebih bijaksana dalam memandang ukuran sebuah kesuksesan. Tidak semata-mata hanya mengukurnya dari harta benda. Juga tidak semata-mata mengukur dari jabatan, pendidikan dan status sosial lainnya. Sebagai manusia yang ber-Tuhan, tentu kita bisa bersepakat bahwa ukuran kesuksesan seorang manusia adalah bisa dilihat dari seberapa banyak dia bisa bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Dalam Islam, disebut sebagai rahmatan lil alamin. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi manusia yang lainnya dan lingkungannya.
Misal, ada orang yang mempunyai kekayaan bernilai hingga miliaran rupiah, tetapi sangat enggan membantu orang lain. Enggan bersedekah. Yang dilakukannya hanya berusaha sekeras-kerasnya untuk terus menerus menumpuk harta kekayaan. Mobilnya berjejer. Rumahnya mewah bertingkat-tingkat. Tetapi dia sangat kikir. Tidak peduli dengan fakir miskin dan anak yatim. Maka, tampak dari luarnya dia adalah orang yang sukses jika hanya dilihat dari harta benda dan kekayaan yang dikumpulkannya. Namun, apakah dia bisa kita katakan telah sukses sebagai seorang manusia?
Sebaliknya, ada orang yang terlihat sederhana dan bersahaja. Bahkan penampilannya terkesan tidak sedap dipandang mata. Tetapi dia mampu membuat puluhan gubug baca di desa tempat tinggalnya. Dia juga bisa membangun puluhan taman baca dan perpustakaan dari kampung ke kampung. Dia membhaktikan dirinya untuk membangun dunia literasi bagi anak-anak desa, dari kampung ke kampung. Membangkitkan kehidupan yang berbudaya dari desa ke desa. Jika dilihat dari luar, dia tidak mempunyai harta benda yang bisa dibanggakan. Kekayaannya yang paling mewah adalah pemikiran, niat baik dan tindakannya untuk terus bergerak membangun gubug baca dari desa ke desa. Apakah dia bisa kita katakan sebagai manusia yang tidak sukses?
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, tentu kita bisa dengan mudah menemukan guru besar di berbagai perguruan tinggi. Banyak yang mempunyai gelar akademik berjejer. Bahkan, kadang namanya sendiri kalah panjang dengan berbagai titel akademik yang disandangnya. Ada juga yang lulusan perguruan tinggi dari luar negeri. Tapi apakah kita bisa langsung mengatakan bahwa mereka adalah contoh nyata dari orang yang telah sukses? Apakah hidup mereka telah bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang lain? Atau justru berjejernya titel akademik yang mereka miliki hanyalah aksesoris kebanggan pribadi semata? Apakah tanggung jawab keilmuan mereka sebagai insan cendikia sudah dijalankan dengan sebaik-baiknya untuk pengabdian kepada masyarakat seluas-luasnya?
Di lain sisi, ada orang yang tidak mempunyai gelar akademik. Sekolah hanya tamat SMP. Tapi kiprahnya nyata bagi masyarakat seluas-luasnya. Dia telah berinovasi membangun kampungnya. Selain itu, dia juga menyebarkan berbagai inspirasi untuk membangun kampung-kampung di seluruh Indonesia. Dia membangun kampung “Go Green”, kampung berbudaya, kampung mandiri, kampung wisata, kampung kali, dan lain sebagainya. Dia bergerak secara mandiri dan sukarela. Berbaur dan hadir diri langsung. Hidup bersama nafas warga, dari kampung ke kampung. Metodologi pergerakannya adalah “Philosophy in Action”. Bukan sekedar teori-teori belaka. Lantas, apakah kita bisa menyebutnya tidak sukses hanya karena dia tidak mempunyai gelar akademik?
Jika kesuksesan hanya dilihat dari jabatan, maka kita bisa dengan mudah tertipu karena jabatan seseorang. Misal, orang yang sudah menjadi walikota, belum tentu dia adalah orang yang sukses. Apalagi dengan jabatannya itu, dia justru menyalahgunakan kewenangannya. Hingga akhirnya berbuat korupsi. Banyak kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK karena telah melakukan tindakan korupsi dan suap menyuap. Jika seorang walikota atau kepala daerah tidak mampu bertindak tegas untuk memperjuangkan hajat hidup dan kesejahteraan warganya, dan tidak berani mengambil keputusan demi untuk membela orang-orang yang menderita hidupnya, maka sesungguhnya dia telah gagal menjalankan amanah yang telah diberikan kepadanya. Tentu saja itu adalah sebuah bentuk nyata dari ketidak suksesannya. Lebih baik, dia mengundurkan diri. Daripada harus mengorbankan hajat hidup dan kesejahteraan warganya.
Pada era materialistik saat ini, kita semakin didesak untuk mengukur kesuksesan hanya dari segi material semata-mata. Setiap detik, kita dijejali dengan berbagai propaganda tentang kesuksesan adalah seberapa besar harta benda dan kekayaan yang bisa kita dapatkan. Kita semakin abai tentang berbagai hal yang terkait dengan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan alam. Kita telah berubah menjadi robot, dengan bungkusan kata “Bermartabat”, sambil pamer segala macam harta kekayaan, gelar dan jabatan. Padahal sebenarnya kita adalah budak materialistik yang dinina bobokan dengan kata “Pertumbuhan Eknomi”. Banyak kaum propagandis yang mengumbar kata-kata idealis, tetapi ujung-ujungnya adalah materialistis.
Wahyu Eko Setiawan (Sam WES)
CEO BrawijayaOrganizer.com
Photo by MOKO .seven: https://www.pexels.com/photo/an-elderly-woman-in-brown-shirt-smiling-while-standing-on-the-street-near-the-plastic-crates-13369021/