Jika kita cermati dengan seksama selama satu dekade ke belakang, kita bisa dengan mudah mengerti bahwa sampai saat ini tidak ada satupun pihak yang benar-benar berusaha serius membaca “Kebutuhan Pemajuan Kebudayaan” di Kota Malang. Sehingga, apapun program kerja yang dilakukan untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan di Kota Malang, khususnya yang dijalankan oleh Pemkot Malang, sangat jauh dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat Kota Malang. Maka, yang tercipta kemudian hanya sekedar program kerja yang bersifat seremonial dan pemanis belaka. Sangat jauh dari substansi realitas kehidupan berkebudayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat Kota Malang. Lantas, bagaimana membaca Kebutuhan Pemajuan Kebudayaan yang menjadi realitas kehidupan berkebudayaan masyarakat Kota Malang?
Tentu akan terlahir beragam perbedaan pandangan, perspektif dan pemikiran. Karena dipengaruhi oleh pola pikir, latar belakang serta kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Baik secara individu, maupun secara kelompok (Organisasi, Komunitas, Profesi, Institusi dan lain-lainnya). Hal tersebut sangat wajar. Bahkan, beragam perbedaan tersebut, sangat dibutuhkan untuk membuka ruang-ruang dialektika yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya. Semuanya mempunyai hak dan tanggung jawab. Mempunyai kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya. Sekaligus melekat tanggung jawab untuk berjuang bersama dalam mewujudkan aspirasinya. Jadi, tidak hanya sekedar usul atau menyampaikan aspirasinya saja. Tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk bergerak dan bekerja, bahkan mau berkorban, demi mewujudkan aspirasinya.
Ketika semuanya mempunyai kebebasan yang bertanggung jawab untuk menyuarakan aspirasinya, serta melalui saluran komunikasi yang tepat dan efektif, maka akan diperoleh keberagaman Local Wisdom. Kemudian dengan kesadaran dan tanggung jawab, secara musyawarah untuk mufakat, disepakati “Benang Merah” yang mampu mengikat partisipasi aktif, komitmen serta konsistensi bersama dalam membaca Kebutuhan Pemajuan Kebudayaan yang menjadi realitas sebenarnya bagi seluruh masyarakat Kota Malang. Dari sinilah perilaku Gotong Royong, Guyub Rukun, Sembodo dan Tepo Sliro, bisa tumbuh subur berkembang menjadi etos hidup bermasyarakat yang berkebudayaan adiluhung.
Keberagaman kualitas sumber daya manusia, baik karena ilmu pengetahuan dan pengalaman, maupun latar belakang sosial lainnya, tentu bisa menjadi tantangan tersendiri. Maka, yang perlu dibangun bersama adalah ekosistem Asah, Asih dan Asuh. Sehingga, semunya menjadi harmoni. Yang tinggi tidak perlu merendahkan, yang rendah wajib dibela dan ditumbuhkan. Yang berdiri tidak perlu menjatuhkan, yang terjatuh wajib ditolong dan diberi bantuan. Semuanya selaras dalam harmoni kehidupan masyarakat yang berkebudayaan adiluhung.
Saat ini, dengan adanya Kementerian Kebudayaan yang berdiri mandiri, sebenarnya membuka peluang yang sangat lebar untuk bersama-sama membangun ekosistem kehidupan masyarakat yang berkebudayaan adiluhung di Kota Malang. Saat ini, kita harus segera memperkuat kemampuan membaca Kebutuhan Pemajuan Kebudayaan di Kota Malang. A, B, C, D, sampai Z, kita bersama harus tuntas membaca abstraksi kebudayaan di Kota Malang. Meskipun menurut Djoko Saryono, Kota Malang ibaratnya Kuali Besar Kebudayaan Nusantara. Yang di dalamnya telah berisi beraneka ragam kebudayaan nusantara. Bahkan juga ada kebudayaan mancanegara, meskipun kadarnya hanya di bawah 1% dari realitas kehidupan berkebudayaan masyarakat Kota Malang. Namun semuanya harus mampu kita baca bersama. Bukan hanya Pemkot Malang, baik eksekutif (Walikota & OPD) maupun eksekutif (DPRD), tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat Kota Malang. Khususnya para pelaku, pelestari dan akademisi yang membaktikan hidupnya untuk membangun masyarakat yang berkebudayaan adiluhung di Kota Malang.
Pertanyaan yang layak kita ajukan bersama adalah, apakah Pemkot Malang bersama masyarakat Kota Malang, khususnya para pelaku, pelestari dan akademisi yang membaktikan hidupnya untuk membangun masyarakat yang berkebudayaan adiluhung di Kota Malang, mampu melihat peluang-peluang besar yang bisa dimanfaatkan dengan berdirinya Kementerian Kebudayaan saat ini? Ataukah masih berkutat pada hal-hal yang bersifat seremonial, administratif dan birokratis semata-mata? Tidak adakah Misi dan Visi yang jelas, yang didasari dari hasil membaca Kebutuhan Pemajuan Kebudayaan di Kota Malang? Ataukah justru semakin parah terjerumus pada jumbleng gontok-gontokan dan eyel-eyelan, seperti rebut balung tanpo isi?
Tentu, sangat dibutuhkan perenungan atau kontemplasi bersama. Menjernihkan pikiran, membeningkan hati. Meredam ego dan ambisi pribadi, juga menahan nafsu untuk mendominasi dan hegemoni. Sulit? Tentu saja sangat sulit! Tidak mudah? Jelas tidak mudah. Itulah kenapa puncak kejayaan kebudayaan dan peradaban umat manusia, selalu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Tidak pernah datang tiba-tiba atau turun terjun bebas dari langit. Wajib diupayakan bersama-sama. Menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama. Menjadi kesadaran bersama. Bisakah kita mencapainya bersama-sama? Dari Kota Malang? Kita mulai dari mana dan bersama siapa?
Jika ingin berjalan cepat, maka berjalanlah sendirian. Jika ingin berjalan jauh, maka berjalanlah bersama-sama. Dan ketika kita sadar ke mana arah tujuannya, maka kecepatan tidak lagi menjadi persoalan. Karena yang lebih penting adalah kita tiba sampai tujuan bersama-sama. Tidak ada yang ditinggalkan, tidak ada yang dikalahkan. Kota Malang, Yakin Usaha Sampai!
Wahyu Eko Setiawan/ Sam WES
Pendukung Sekolah Budaya Tunggulwulung